Sabtu, 07 Maret 2009

Slamet Ijo

Ayahku bercerita kepadaku pada suatu malam, dan kali ini beliau bercerita tentang hal usang, “Ketika bangsa Jepang bercokol di negeri kita, ada orang dari Dlimas di seberang kali Macanan bernama Slamet yang biasa dipanggil sebagai Slamet Ijo. Ia adalah saudara laki-laki dari Ibu dari Bu Amin yang memiliki anak Mbak Tari yang sekarang tinggal di bawah pohon langsat di samping rumah Lik Larah. Slamet Ijo mendapat gelar Ijo di belakang namanya karena ia selalu memakai celana berwarna ijo. Jangan bayangkan semua celananya berwarna ijo karena bukan begitu duduk perkaranya. Semua orang pada waktu itu tahu bahwa celana ijonya itu adalah satu-satunya celana yang ia miliki, bahkan tampaknya satu-satunya barang-yang-bisa-dipakai yang ia miliki, dan satu-satunya barang-yang-bisa-dipakai itulah yang ke mana-mana membuat auratnya tertutup tapi membiarkan dadanya terbuka. Dan jangan bayangkan pula bahwa bahan celananya itu adalah dari katun atau dari kain-kain lain seperti yang kaupakai. Anak sekarang hanya tahu bahan ini ada di gudang beras sebagai kantung pembungkus beras. Padahal pada zaman itu orang-orang memakai pakaian dari goni sebagai ganti kain, di samping juga memakan bonggol pisang sebagai ganti nasi.”

Tanyaku, “Satu-satunya? (maksudku tentang celana Slamet Ijo tadi)”

Beliau tegaskan, “Satu-satunya.”

Lanjutku dengan teka-teki di kepalaku, “Lalu jika benar itu celananya satu-satunya, apa yang ia pakai ketika celana itu dicuci, Ayah? Jangan-jangan sudah itu celana satu-satunya, tidak pernah dicuci pula. Sudah zaman itu paceklik sandang pangan, paceklik air pula.”

Jawab beliau, “Untunglah ia mencucinya. Dan tentang satu-satunya itu, itulah kenapa pada hari ia mencucinya ia harus berlama-lama meringkuk di dalam belik*) , tentu saja tanpa satu benang pun menempel di tubuhnya, sampai celana itu kering dijemur. Apalah dia tanpa secarik goni itu jika ia berjalan-jalan di keramaian kecuali tentulah akan dianggap laki-laki gila. Setelah celananya kering beberapa jam kemudian, barulah ia memakai kembali celananya dan berani melenggang keluar ke dunia yang penuh kesulitan yang sesungguhnya tidak lebih nyaman daripada meringkuk di sebuah belik di bawah pohon beringin.”

Aku tahu ada Slamet Ijo-Slamet Ijo yang lain pada zaman itu yang menderita dengan cara unik seperti itu. Aku bahkan tahu bahwa ayahku pun pada zaman itu menderita dengan cara beliau sendiri karena pada zaman itu semua orang menderita dengan cara mereka masing-masing. Tapi aku terlalu mencintai ayahku untuk menanyakan hal itu kepadanya.

*) Belik = mata air yang diberi dinding penutup ala kadarnya, digunakan untuk mandi dan mencuci di daerah pedesaan

0 komentar: