Kamis, 12 Maret 2009

Kompresi Doa yang Lossy


Seperti yang kita ketahui bersama, ada beberapa singkatan / kependekan dalam teks-teks berbahasa Indonesia untuk beberapa ungkapan islamiy tertentu. Kependekan-kependekan tersebut telah menjadi semacam konvensi umum dalam bahasa tulis bangsa kita dan telah dibudayakan dalam keseharian kita sejak hari pertama kita menerima pelajaran agama Islam di bangku sekolah dasar. Mereka ini:
  • SWT untuk Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan sanjungan bagi Allah;

  • SAW untuk Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan doa bagi Nabi Muhammad;

  • AS untuk ‘Alaihi salam yang merupakan doa untuk para nabi dan malaikat;

  • RA untuk Radhiyallahu ‘anhu / ‘anha / ‘anhuma / ‘anhum yang merupakan doa untuk shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

  • RA juga untuk Rahmatullah ‘alaih yang semakna dengan rahimahullah yg merupakan doa untuk ulama dan orang-orang shalih yang sudah wafat;

  • Ass(wrwb). untuk Assalamu’alaykum (wa rahmatullahi wa barakatuh);

  • Ada lagi?

    Oh ya, saya pernah menemui seseorang menuliskan WWW untuk menjawab salam saya. Oke, kita dapat satu lagi:

  • WWW untuk Waalaykum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.


Barangkali kita semua tahu betul akan maksud singkatan-singkatan itu ketika seorang penulis menggunakannya dalam sebuah tulisan, dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tahu akan maksud segala hal di dunia ini. Akan tetapi marilah kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

1. Semua ungkapan itu adalah ungkapan suci, agung, dan doa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala rabb semesta alam — ungkapan-ungkapan yang mestinya kita nyatakan dengan penuh pengagungan, dengan seserius dan seelegan mungkin. Menggunakan versi kependekan dari sebuah doa dalam porsinya mengindikasikan keengganan. Dan bukankah sebuah singkatan secara umum memang dibuat untuk alasan kepraktisan yang dalam ungkapan kasarnya sesungguhnya merupakan bentuk dari kemalasan manusia? Sebaliknya, menggunakan versi utuh dalam mengungkapkan sesuatu memiliki nilai pengagungan, keseriusan, dan keeleganan yg lebih tinggi, tentunya.

2. Singkatan itu menyerupai kompresi lossy untuk multimedia yang memampatkan objek dengan konsekuensi info-info tertentu bakal terhilangkan atau aspek-aspek tertentu bakal terkaburkan. Meskipun kita tetap bisa menangkap maksud doa ketika seseorang menggunakan versi singkatannya seperti halnya kita tetap bisa menangkap maksud gambar yang sudah dikompres, sesungguhnya di sana tetap ada hal-hal yang hilang dan terkaburkan. Ketika seseorang menggunakan versi singkatan dari doa, sedikit banyak ada bagian yang hilang dari kesadarannya akan doa yang ia ungkapkan. Sebaliknya, menuliskan mereka secara utuh lebih menunjukkan kesadaran kita akan apa yang kita tuliskan. Penulisan dalam versi utuh lebih menjelaskan maksud, yang dengan cara itu kita memberi tahu yang belum tahu, mengingatkan yang terlalai, menjadi pembelajaran bagi setiap yang membacanya, dan menghilangkan ambigu.

Tentang ambigu, seperti yang kita lihat di atas, di sana paling tidak ada sebuah singkatan, yakni RA, yang mengandung begitu banyak ambigu: apakah ia bermaksud Radhiyallahu ‘anhu atau Radhiyallahu‘anha atau Radhiyallahu‘anhuma atau Radhiyallahu‘anhum, atau justeru Rahmatullah ‘alaih yang dalam beberapa kasus juga masih perlu diperjelas apakah Rahmatullah ‘alaihi atau ‘alaiha dst. Lossy sekali bukan?

3. Beberapa doa dalam versi yg sudah dipendekkan itu ternyata bisa dibelokkan kepada makna yang tidak nyambung atau bahkan sama sekali tidak layak, seperti ass yang bisa dibelokkan menjadi kata dalam bahasa Inggris yang makna tidak layaknya telah kita ketahui bersama. Contoh lain adalah WWW yang waktu itu sempat membuat saya mengira bahwa ia akan memberikan saya sebuah alamat website, dsb dsb. Argumen ini sudah mempertimbangkan su'uzhan kita bahwa sesungguhnya penulis singkatan tidak pernah memaksudkan singkatan-singkatan yang ia buat kepada makna-makna yang menyimpang seperti yang baru saja tersebut.

Menimbang hal-hal tersebut di atas, terang benderang bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan islamiy dan doa-doa tersebut dalam versi utuhnya lebih baik daripada menuliskan mereka dalam versi kependekan mereka. Saya sama sekali tidak bermaksud membawa permasalahan ini ke ranah halal-haram yang menjadi wewenang para mufti, tapi marilah kita melihatnya sebagai permasalahan akhlak dan adab kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam bishshawab.

Rabu, 11 Maret 2009

Cukup Adelia Seorang (Part 3 of 3)




Kutekan nomor itu – sebuah nomor cantik, secantik pemiliknya, tentu. Perlu diketahui bahwa untuk saat ini sajalah, untuk momen ini sajalah, sebenarnya alasanku hidup selama seminggu terakhir. Setelah seminggu penuh pada setiap masa senggangku aku merancang-rancang kata-kata terindah, tibalah kini saatku menggunakannya. Dan setelah selama bertahun-tahun ini Adelia yang terus membuatku terkesan sampai diri mabuk kepayang kepadanya, kini giliranku untuk membuatnya terkesan kepadaku pada pendengaran pertama. Biarlah tahu rasa dia!

“Halo. Adequate Adelia. Aku sedang berbicara dengan siapa?”

Untuk beberapa saat mulutku seperti tercekat demi mendengar suara itu, suara yang paling sangat sangat kutunggu itu. Aku hampir-hampir tidak percaya bisa mendengar suara bidadari seribu satu malam ini pada ponselku sendiri. Dan hampir-hampir hilanglah semua rancangan di kepalaku karena kegugupanku.

“Sang Diva sedang berbicara dengan Ryan,” sahutku, sesuai benar dengan rancangan yang telah kubuat selama berhari-hari, yang segera bisa kugapai kembali.

“Aku belum lagi menjadi diva, dan aku tidak kenal Ryan.”

Ini di luar rancangan! Tidak pernah kuduga sebelumnya ia akan menyahut seperti itu: menolak sanjunganku, dan lebih parah lagi, lupa kepadaku. Betapa dangkal pengalamanku!, rutukku dalam hati, Membuat rancangan saja meleset! Sebisa-bisa aku harus berimprovisasi dalam situasi genting seperti ini. Tapi kupikir aku harus tetap mempertahankan panggilan “sang Diva” untuk menunjukkan kuatnya keyakinan diriku.

Maka dengan agak gugup: “Mm – A–Aku Ryan adik Tessa, mantan teman sang Diva di SMA.”

“Oh ya, ya. Tentang acara ultah perak SMA 5 itu ya? Sori, Dik, aku punya jadwal mendadak harus mendampingi The Corrs manggung di Surabaya pada malam harinya. Jadi selepas syuting di Ciwidey, aku harus langsung mengejar pesawat ke Surabaya, dan… yeah... SMA 5 tidak perlu menunggu kehadiranku.”

Semakin jauh dari rancangan!

Kucoba berargumen “Tapi, sang Diva –“

“Sori, Dik. Meski kita sudah deal duluan, kamu tahu, jadwalku di Surabaya jauuuh lebih penting daripada hanya sebuah acara intern di sebuah sekolah.”

Ini lebih-lebih lagi di luar rancangan!

Dan hanya ini lagi yang bisa keluar dari mulutku: “Tapi, sang Diva –“

“Kuingatkan, jangan lagi panggil aku diva. Itu seperti mengejekku, tau! Dan cari saja artis lain untuk acara sekolahmu itu. Atau… masa tidak ada siswi di 5 yang mewarisi bakatku? Pasti ada. Aku juga dari sana. Gunakan saja dia. Siapa tahu…” Tiba-tiba kudengar suara-suara aneh di seberang sana, suara-suara aneh di belakang Adelia: ”Sudahlah, Adelia manisku… Sudahlah, cantikku…” Suara yang bernada mesra sekali. Tapi sebetulnya yang paling membuatku begidik adalah … itu jenis suara om-om! (The end)

(Copyright © 2007 by Agus Hartoyo)

Cukup Adelia Seorang (Part 2 of 3)




“Prestasi memang tidak pernah pergi jauh dariku,“ ucap kakak perempuanku dengan semangat tergambar di sela-sela batuknya, ”terutama jika topik pembicaraan kita adalah Adelia.”
Perlu diketahui bahwa ia memang selalu membatasi pembicaraan tentang prestasi hanya pada topik tersebut. Pada topik-topik lain, yang terjadi pada diri kakak perempuanku adalah hal yang sebaliknya, terutama sekali pada topik akademik.

“Apakah lagi setelah berhasil mengundangnya dalam acara ultah perak sekolahku minggu depan? Mengundangnya datang ke rumah kita kah? Wow, Teh! Itukah prestasi Teteh berikutnya?” kusambut berita dari kakak perempuanku dengan segenap hati dan luapan perasaan. Jawaban yang teramat sangat kuharapkan tentu saja adalah: Ya, tentu saja, Ryan. Bla-bla-bla…

Tapi: “Hush! Itu belum saatnya, Ryan. Maksudku, jangan memintanya hal-hal yang bersifat terlalu pribadi dulu. Saat ini dia adalah milik publik, milik ratusan juta orang di seluruuuh Indonesia. Bahkan papa mamanya sendiri juga mungkin kini sudah tidak lagi punya hak untuk meminta, memerintah, apalagi mengaturnya seperti dulu. Nah, untuk bisa meng-cover permintaan dari sebanyak mungkin penggemar, ia harus bijaksana membatasi skala penampilan dan konsernya. Kukira sekarang skala konsernya sudah pada tingkat kota besar, yang berarti, ia tidak memiliki jadwal untuk segala yang berskala di bawah itu – skala kota kecil, apalagi skala sekolah. SMA 5 – sekolahmu, sekolah kita semua – adalah perkecualian dalam hal ini karena bagaimanapun ia salah seorang alumninya. Tapi itu pun sebetulnya lebih karena cocoknya waktu ultah perak sekolahmu dengan jadwal syutingnya di Bandung, di daerah Ciwidey sana. Kalau saja waktu ultah perak sekolahmu maju atau mundur sehari saja, ia pasti akan dengan segala hormat menolak undangan kita semua, karena pada hari itu ia punya jadwal di tempat lain, mungkin konser di Medan atau syuting di Sidney.

Dan sekarang kamu mengharapkan aku mengundangnya datang ke rumah ini?”

Pertanyaan retoris, dan karenanya tidak perlu dijawab.

“Kembali ke pembicaraan awal, jadi apa prestasi Teteh itu ?“ tanyaku balik.

“Setelah kuyakinkan tentang betapa besar manfaat situs pribadi di Internet bagi seorang artis selevelnya, ia pun senang dan setuju. Dan tebak siapa orangnya yang ia percayai untuk menangani proyek pembuatan situs pribadi Adelia Adequate!”

Tidak perlu kukatakan lagi siapa dia, tapi langsung saja kukatakan, “Oh? Bisa Teteh memrogram dan mendisain web?”

Setelah terbersin-bersin beberapa kali, kakak perempuanku berujar, “Adelia hanya tahu aku kuliah di STTTelkom, kampus telekomunikasi dan IT. Ia tidak ingat bahwa bahwa jurusanku adalah TI. Meski begitu, sesungguhnya ia tidak menunjuk orang yang salah, bahkan ia telah menunjuk orang yang tepat. Aku memang tidak tahu menahu tentang pemrograman web, tapi aku bisa meng-organize orang-orang terbaik dalam pemrograman web. Bukankah begitulah saja kerja anak TI? Anak-anak IF silakan kuasai pemrograman, database, pembangunan sistem informasi, dan sebagainya – sampai sejago-jagonya; anak-anak elektro silakan kuasai sistem komunikasi, sistem digital, dan sebagainya – sampai sejago-jagonya; aku yang akan mengarahkan dan mengelola kalian semua dalam menyalurkan skill dan kompetensi kalian semua, maka tidak bisa lain, konsekuensi logisnya: kalian pekerjaku, dan aku bos kalian semua. Begitulah adanya.

Bagaimanapun prestasiku tak terbendung lagi tentang Adelia.”

Prestasi? Prestasi dari Hongkong?! Orang sudah merasa hebat dan berprestasi hanya karena bisa mengundang sang bintang, atau hanya karena mendapat orderan dari sang bintang, atau cuma karena mendapat telepon dari sang bintang, atau bahkan cuma karena mendapat tanda tangan dari sang bintang. Padahal menurutku, ketika kau memuja dan menghamba sang bintang, di mana prestasi sang bintang yang membuat kau memuja dan menghambanya, saat itu apapun yang kau lakukan sesungguhnya berpusat-pada dan bersumber-dari prestasi sang bintang. Dengan demikian, apapun yang berhasil kau lakukan dalam situasi itu, kau berhasil mencapainya semata-mata adalah dalam kerangka prestasi sang bintang, sehingga hanya prestasi sang bintang sendiri sajalah yang benar-benar bisa dianggap prestasi. Jadi dalam hal ini sesungguhnya kau tidak punya hak untuk merasa berprestasi sampai kau berbuat seperti yang diperbuat sang bintang dan mencapai seperti yang dicapai sang bintang.

“Apa sebenarnya yang nanti bisa diperbuat oleh sebuah situs pribadi Adelia Adequate itu, Teh?” tanyaku. Ini menarik bagiku. Selain wajah bidadari dan tubuh modelnya, segala tentang Adelia menarik bagiku.

“O banyak sekali, Sayang. Makhluk elektronik yang satu ini nantinya akan bisa menginformasikan berita terbaru, lirik lagu, jadwal tur, galeri foto, gambar, wallpaper, alamat dan biodata maupun biografi… semua hal tentang Adelia! Di sana akan ada juga fasilitas blog untuk menyampaikan kegiatan harian Adelia selain juga fitur-fitur lain semacam member area, guest book, news, vote, pooling… semuanya, selengkap-lengkapnya – jikalau bisa bahkan lebih lengkap dan lebih mewah daripada britneyzone.com. Yang tidak kalah penting, dengan situs pribadinya ini Adelia diharapkan dapat mempublikasikan informasi yang benar tentang gosip-gosip yang berkaitan dengan dirinya. Apalagi sekarang kita ketahui mulai bertiup desas-desus ngawur tentang kedekatannya dengan TN, seorang pengusaha SPBU yang bahkan sudah beristri dan beranak lima. Bukankah si TN itu dilihat dari segi usia lebih pantas menjadi bapak Adelia daripada menjadi kekasihnya? Dan bukankah Adelia sudah sangat serasi dan sangat hangat dengan Tengku Irwan, lawan mainnya dalam Cinta Tanpa Akhir? Rasanya ingin kusobek-sobek saja tabloid gosip murahan yang asal ngecap itu!”

Aku 150 persen setuju dengan kakak perempuanku tentang sobek-menyobek. Pernah kubaca berita di tabloid gosip itu yang mengindikasikan: Jika di dalam sinetron si Rara Mendut menolak cinta Wiraguna si tua-tua penguasa dan memilih menjalin asmara dengan Pranacitra yang muda dan tampan, maka dalam dunia nyata sebaliknya yang terjadi, si Rara Mendut ini justeru meninggalkan Tengku Pranacitra dan menjalin affair dengan Wiraguna-nya pom bensin, raja pom bensin dari Bogor berinisial TN…

Sesungguhnya kami belum lagi tahu benar-tidaknya gosip itu. Hanya karena itu melukai perasaan pemujaan dan penghambaan kami kepada sang bintang saja, kami cenderung mendustakannya.

“Oh ya, Ryan, bagaimana dengan bagianmu sendiri? Aku berbicara tentang persiapan-persiapan kalian untuk acara di sekolahmu minggu depan.” Kakak perempuanku mengalihkan pembicaraan.

“Lancar, setidaknya sejauh ini. Untuk mengiringi Adelia kami telah membentuk skuad terbaik yang merupakan all star dari sejumlah grup band ternama yang ada di 5: Andre dari The Gangsters di melodi, aku sendiri dari Bandung Jive di bass, Pengki dari Jurik Band di keyboard, dan Fuad dari The Gangsters juga di drum. Aku sudah membuat janji dengan Adelia untuk mengontaknya langsung pada ponsel pribadinya malam nanti pukul 7 guna memastikan semuanya berjalan sesuai rencana.”

“Bagus kalau begitu. Artinya, kalian tahu kelas Adelia, dan ada usaha kalian untuk memberi pelayanan kepadanya sesuai dengan kelasnya. Tentang proyek pembuatan situs pribadi Adelia aku telah menetapkan visinya: membuat website yang tidak hanya handal secara sistem dan lengkap dalam fitur, tapi juga mengandung cita rasa keindahan yang tinggi agar ia tidak hanya menjadi mesin tangguh-tangguh tanpa perasaan, tapi juga harus sangat artisitik... karena... se-ga-la yang ber-hu-bu-ngan de-ngan ar-tis ha-rus-lah ar-tis-tik. (Kakak perempuanku mengatakan bagian ini dengan memenggal-menggal setiap suku kata untuk memberi penekanan akan prinsip hebatnya.)

NOT FOUND
NOT FOUND
NOT FOUND

* * *


Cukup Adelia Seorang (Part 1 of 3)

f
Jika ada kesamaan lain di antara aku dan kakak perempuanku selain kesamaan ibu bapak, kesamaan itu pastilah kesamaan dalam hal kegilaan kami terhadap Adelia. Setelah semua perbedaan kami yang mengesalkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tentang motif mana yang cocok untuk sarung telepon rumah kami: pink dengan tebaran bunga-bunga kuning atau hitam-putih Juventus dengan beberapa logo Juventus (Bisa ditebak dengan mudah siapa menginginkan yang pertama dan siapa menginginkan yang terakhir), akhirnya kami berdua disatukan juga dalam satu semangat yang sama, satu semangat yang membara. Itulah semangat mengagumi, mengidolakan, dan memuja dia seorang diri: bidadari, bintang muda yang sedang bersinar, pujaan, dan pahlawan hati kami yang sungguh luar biasa. Tapi dasar kami memang ditakdirkan untuk berbeda dalam sebanyak mungkin hal, maka sama memujanya kemudian juga memuja orang yang sama, tidak berarti sama pula dalam hal cara melakukannya: aku dengan caraku sendiri, kakak perempuanku dengan caranya sendiri.

Kakak perempuanku cenderung memilih untuk meleburkan identitasnya ke dalam identitas Adelia, yang sesungguhnya berarti perlunya ia membuang jauh-jauh motto “Jadilah dirimu sendiri seutuhnya” dan “Jangan pernah merelakan dirimu menjadi bayang-bayang orang lain karena, kata ahli fisika, bagian yang menjadi bayang-bayang selalu merupakan bagian yang terhalang dari cahaya, dan kata dokter, terhalang dari cahaya itu tidak sehat”. Bukan kakak perempuanku namanya jika gaya rambutnya tidak seperti gaya rambut Adelia dalam sinetron terbaru, atau merk kaosnya tidak sama dengan merk kaos favorit Adelia yang pernah diekspos dalam sebuah majalah remaja. Begitupun tentang jenis buku dan genre film favorit. Begitupun tentang kriteria cowok idaman yang memang hampir selalu disebutkan begini oleh hampir semua cewek: baik, dewasa, penuh pengertian,…. Begitupun tentang artis Barat favorit. Begitupun tentang pilihan kartu sim. Faktor anggaran yang tidak memadai saja yang membuat kakak perempuanku dalam hal ponsel hanya mampu menyamai Adelia dalam merk, tidak dalam seri. Tidak bisa lain, mengimitasi Adelia habis-habisan adalah bakat terbesar kakak perempuanku dan hobinya yang paling dominan, yang membuatnya menjadi “Adelia yang sedikit kurang cantik” atau “Adelia minus kemampuan bernyanyi dan berakting”. Kalaupun ada hobi dominannya yang lain, itu juga masih berputar-putar di sekitar topik Adelia: mulai dari mengkoleksi setiap album Adelia dalam segala bentuknya – kaset, CD original, dan CD bajakannya sekaligus, sampai dengan memenuhi dinding kamarnya dengan poster Adelia dalam berbagai pose dan keadaan yang ter-up date setiap dua minggu. Dalam hal menggandrungi sinetron-sinetron yang dibintangi oleh Adelia, tidak perlu dikatakan lagi, kakak perempuanku adalah yang nomor satu.

Ketika Tumenggung Wiraguna yang penguasa tua-tua keladi membujuk Rara Mendut agar mau menjadi selirnya, serta merta kakak perempuanku meradang bukan main seakan-akan ia saja yang akan dipoligami atau seakan-akan ia adalah Rara Mendut itu sendiri. Di antara katanya yang ditujukan kepada Rara Mendut: Jangan mau! Sepantasnya dia itu menjadi kakekmu, bukan suamimu! Jadi berikan saja nenekmu, bukan dirimu, untuk si tua itu! Begitu baru pantas!... Ternyata kemudian Rara Mendut memang benar menolak bujukan itu, maka tersenyum puaslah kakak perempuanku yang barangkali menjadi gembira karena merasa sarannya telah didengarkan dan dituruti oleh Adelia, pemeran Rara Mendut. Padahal sesungguhnya memang demikianlah yang seharusnya – demikianlah yang telah digariskan dalam cerita aslinya sebagaimana tertulis dalam Babad Tanah Jawa, dan di atas segala-galanya, demikianlah yang telah digariskan dalam skenario sinetron. Dan ditinjau dari sudut manapun, saran atau apa saja ucapan kakak perempuanku – termasuk kemarahan-kemarahannya – di hadapan sebuah kotak penuh kabel bernama televisi, tidak punya efek apapun dan sedikitpun terhadap jalan cerita manapun dalam sinetron-sinetron itu.

Pada saat yang lain, pada saat Rara mendut dan Pranacitra yang hendak melarikan diri, tertangkap dan dihadapkan kepada Tumenggung Wiraguna, kakak perempuanku bertanya kepadaku dengan nada sedih sekali: Apakah sebentar lagi Rara Mendut dan kekasihnya akan mati, Ryan? Kujawab: Begitulah, Teh, yang disebutkan dalam cerita aslinya dalam Babad Tanah Jawa. Wiraguna menusuk Pranacitra, dan Pranacitra ditubruk oleh Rara Mendut sehingga tak urung matilah kedua-duanya sekaligus. Tapi jalan cerita begitu tampaknya terlalu singkat untuk sebuah sinetron Rara Mendut Kembang Mataram deh. Boleh jadi dalam sinetron ini dibuat tambahan cerita di mana Rara Mendut dan Pranacitra tiba-tiba dibebaskan dari tahanan Wiraguna oleh seorang pahlawan bertopeng, misalnya, atau Rara Mendut untuk sementara waktu berpura-pura meninggalkan Pranacitra dan bersedia menjadi selir Wiraguna, atau apa saja jalan cerita yang bisa membuat sinetron ini menjadi lebih panjang, lebih memukau, dan tetap mempertahankan rating. Kita tahu, Teh, zaman ini uang adalah raja, dan karenanya, sinetron sebagai bisnis yang sepenuhnya digerakkan oleh kepentingan uang, begitu berkuasa. Ia berkuasa melakukan apa saja demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tak peduli apapun akibatnya. Ia berkuasa membelokkan cerita dari cerita aslinya yang bahkan sudah berabad-abad; ia berkuasa membuat tren-tren baru yang tidak pernah ada sebelumnya di masyarakat; ia berkuasa menaikkan seseorang menjadi bintang dan melemparkan yang lain ke keranjang babi; ia juga berkuasa memainkan-mainkan ide dan pemikiran di kepala-kepala kita, para penggemarnya yang setia ini, Teh; dan ia bahkan juga berkuasa membalikkan siang jadi malam, malam jadi siang!

Jadi begitulah cara kakak perempuanku memuja Adelia: dengan imitasi dan solidaritas yang meledak-ledak tak kenal lelah, dengan cara para wanita – cara yang kadang tidak kumengerti. Biasanya aku hanya menjadi sedikit lebih mengerti setiap kali kuingat siapa kakak perempuanku, siapa Adelia, dan apa hubungan yang pernah ada di antara mereka.

Harusnya aku mengungkapkan bagian ini sejak awal cerita, sejak pikiran kita semua masih bersih dari prasangka-prasangka. Itulah tentang bahwa kakak perempuanku dan Adelia sesungguhnya adalah dua orang sahabat, lebih tepatnya: dua orang teman se-geng – di masa-masa SMA mereka dulu, di masa-masa sebelum Adelia menjadi bintang. Sebagaimana yang tersebut dalam umumnya cerita tentang geng-geng cewek SMA, saling berbagilah mereka dalam satu geng itu apa saja dari suka, duka, gosip, curahan hati, juga mimpi-mimpi. Maka suatu ketika bersatulah lima dalam satu ini mendukung mimpi salah seorang di antara mereka, dan inilah mimpi itu, mimpi seorang siswi SMA berumur 17 tahun: menjadi pujaan, tumpahan cinta, dan elu-eluan seluruh kaula muda di seluruh Nusantara. Sejuta satu cara dilakukan oleh kakak perempuanku and the gang waktu itu untuk memuluskan langkah Adelia dalam Kontes Pujaan Nusantara 3 yang digelar oleh Prima Nusantara TV – sebuah kompetisi dalam kompetisi, kataku, jika mengingat bahwa kompetisi itu pada levelnya sendiri juga berkompetisi dengan kompetisi-kompetisi sejenis, sebutlah Indonesian Idol di RCTI dan AFI di Indosiar, sebagai para penjual dan pengobral mimpi nomor satu bagi anak-anak negeri. Beberapa waktu kemudian, saat harapan semakin menjadi kenyataan, Adelia sudah masuk lima besar, dan mereka semua telah menjadi semakin gila, mereka bahkan menggunakan papaku untuk melobi Gedung Sate agar Gubernur mengumumkan dukungan kepada Adelia yang dianggap mewakili Jawa Barat. Ringkas kata, tetesan keringat kakak perempuanku se-geng, dan terutama sekali bakat besar Adelia sendiri, berhasil mengantar si gadis jelita bersuara emas menjadi runner up pada kontes nyanyi-nyanyian itu pada akhirnya. Sebenarnya bukan pada akhirnya, karena itu sesungguhnya justeru barulah awal dari langkah-langkah elegan-tapi-pasti Adelia meniti dunia impiannya. Dunia gemerlap para bintang!

Adelia Adequate atau Adequate Adelia – dibolak-balik sama saja – yang sering diterjemahkan orang sebagai “cukuplah Adelia seorang” hari ini sudah menjadi nama penuh pesona dalam perbendaharaan sekian megabyte nama-nama artis dan selebritis top Indonesia. Sebuah surat kabar lokal Bandung yang jelas begitu bangga pada prestasi gadis yang pernah dilahirkan dan dibesarkan oleh Kota Kembang itu menuliskan bahwa nama tersebut sesungguhnya menunjukkan talenta luar biasa yang dimiliki oleh sang idola, di mana penggemar di seluruh Nusantara cukup menyebut satu nama saja untuk mengacu kepada bintang dalam dua dunia sekaligus: dunia tarik suara dan dunia akting – Adequate Adelia : cukup Adelia saja! tidak perlu yang lain lagi! Kakak perempuanku berbicara tentang hal itu dengan lebih menarik. Ia menambahkan keterangan kecil dengan sebuah rahasia besar. Adequate, begitu selalu katanya dengan suara bergetar karena luapan perasaan, sesungguhnya adalah nama geng kami lho yang dibuat dengan menggabungkan singkatan nama kelima anggotanya: Ade untuk Adelia sendiri, Q untuk Qurrata A’yun, U untuk Uni, A untuk Aas Aisyah, dan Te untukku, Tessa ini. Siapa tidak bangga?

Ya, orang berhak untuk bangga hanya karena ia pernah se-geng dengan sang bintang, atau hanya karena ia satu daerah asal dengan sang bintang, atau cuma karena ia pernah satu pesawat dengan sang bintang, atau bahkan cuma karena ia pernah melihat (dari kejauhan) sang bintang di sebuah mall, meskipun tentu saja, ia tetap saja bukan sang bintang itu sendiri. Tentang diriku sendiri, jujur saja, pemujaanku terhadap Adelia lebih cenderung ke arah semacam perasaan ingin mengencaninya daripada sekedar bangga-banggaan yang tidak penting. Aku seorang cowok, dan sedang dalam masa puber pula, maka siapa cowok yang tidak terobsesi kepada dara secantik itu, dan bintang, dan dengan suara semerdu itu, dan dengan tubuh semenawan itu, dan sebeken itu, dan seterkenal itu, dan mungkin juga, sekaya itu? Ya Allah, memilikinya tentu sama saja memiliki segala-galanya!

Obsesiku pada Adelia menyerupai minuman berkarbonasi pada botolnya saat dibuka dengan congkelan – meletup begitu lembut. Mengingat fakta bahwa Adelia punya, atau setidaknya pernah punya, relasi khusus dengan kakak perempuanku yang bisa melempangkan jalan bagiku, bertambah-tambah sajalah khayalan dan obsesiku pada bintang itu. Aku tidak peduli lagi pada kesenjangan-kesenjangan itu: kesenjangan usia, kesenjangan tampang, kesenjangan harta, kesenjangan level, atau kesenjangan apapun – setidaknya untuk saat ini. Aku masih muda belia; nasib masih bisa mengantarku ke mana saja: bisa ke hadapan Adelia, bisa ke dalam kandang sapi – aku tidak tahu. Dan karena tidak tahu itulah, aku anggap aku akan mendapatkan peruntungan yang terbaik, asal ada usahaku. Sepanjang pengetahuanku, hanya akan ada dua golongan orang yang bisa berkencan dengan manusia setingkat Adelia: pertama, golongan sesama artis, yakni golongan mereka yang ganteng-ganteng cantik-cantik indo-indo beken-beken; kedua, golongan pengusaha kaya. Begitulah sudah hukum standar yang berlaku di kalangan selebritis. Tentang menjadi artis, aku tidak mengatakan aku tidak punya tampang dan bakat, tapi kukatakan: Jika ada kesempatan, tentu tidak akan kusia-siakan, demi mengejar Adelia. Tentang menjadi pengusaha kaya, hanya jika aku benar-benar bernasib sangat baik bisa mencapainya. Dan begitulah memang urusan tentang Adelia: hanya jika kau benar-benar bernasib sangat baik bisa mendekatinya, bernasib luar biasa bagus bisa mengencaninya, dan bernasib sempurna bisa memilikinya. Untunglah tidak ada kriteria nasib tertentu untuk sekedar bisa membayangkan, untuk sekedar bisa mengimpikan sang bidadari pujaan... yeah, seperti yang selalu kulakukan selama ini.

Demikianlah kegilaan-kegilaan yang tidak selamanya mengharuskan pelakunya menghuni rumah sakit jiwa. Memang caraku berbeda dengan cara kakak perempuanku, tapi tetaplah itu semua tidak keluar dari kategori: cara-cara gila khas para penggemar dan fans berat!

* * *

(to be continued)

Selasa, 10 Maret 2009

Menulislah!

Menulislah!

Meskipun membaca adalah perintah pertama Allah kepada ummat Islam, dalam banyak kasus menulis adalah aktivitas yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Hal itu serupa dengan bahwa sabar, bukannya ridha atau syukur, adalah hal yang diperintahkan kepada hamba ketika hamba mendapat musibah, padahal ridha dalam situasi itu adalah lebih utama, dan syukur dalam situasi yang sama adalah lebih utama lagi. Sabar adalah perintah minimal untuk setiap hamba penanggung musibah, akan tetapi ridha apalagi syukur adalah lebih mulia jika ia sanggup melakukannya. Kembali kepada permasalahan awal, serupa dengan itu membaca adalah perintah minimal bagi seorang muslim, akan tetapi seorang muslim harus menulis jika ia memiliki kesanggupan, ingin mendapat keutamaan lebih, dan ingin berbagi manfaat kepada manusia.



Membaca serupa dengan mendengarkan, menulis serupa dengan berbicara. Membaca adalah menerima, menulis adalah memberi. Seorang tidak akan bisa menulis jika ia tidak pernah membaca karena mana mungkin memberi jika tidak pernah menerima. Kau sudah pasti pernah membaca jika kau pernah menulis; dan tidak sebaliknya.

Membaca adalah kewajiban, tapi tidak akan ada sesuatupun yang bisa dibaca jika tidak ada yang telah menuliskan sesuatu sebelumnya. Hanya dengan adanya pihak yang telah menulis sebelumnya kau bisa membaca.

Dan ketahuilah, perintah "Iqra'", yakni "Bacalah!", termaktub di sebuah ayat pendek, sedangkan perintah "...falyaktubuuh", yakni "...maka tulislah (transaksi utang-piutang itu)" termaktub di ayat terpanjang di mana satu ayat ini saja telah mengisi satu halaman penuh mushaf kita tanpa menyisakan sedikitpun ruang bahkan untuk satu huruf dari ayat lain.

Menulislah!

Sebrilian apapun ide-idemu, yang akan diketahui oleh dunia dan bermanfaat bagi manusia hanyalah yang kautuliskan. Jasadmu akan binasa, sedang tulisanmu akan kekal.



Menulislah!

Menulis adalah tradisi ilmiah para ulama. Ada dua “Tidak” yang menggambarkan tradisi itu:
1. Tidak ada ulama yang tidak menulis; dan
2. Tidak ada yang menulis seperti ulama. Kemampuan dan produktivitas menulis para ulama benar-benar nyaris tidak masuk akal.

Betulkah? Perhatikan fakta berikut ini:

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah ketika menulis biografi Ibnu Uqail berkata, ”Ibnu Uqail memiliki banyak karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu, yakni lebih dari 20 karya tulis. Karyanya yang paling besar adalah kitab Al-Funun, yaitu kitab yang besar sekali.” Al Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, ”Tidak pernah ditulis di dunia ini kitab yang lebih besar dari kitab Al-Funun. Saya diberitahu oleh orang yang pernah melihatnya bahwa kitab ini terdiri dari di atas 400 jilid!” Ibnu Rajab rahimahullah menambahkan, ”Sebagian orang menyebutkan kitab Al-Funun terdiri dari 800 jilid!”

Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah berkata, ”Saya mendengar As-Samsami menceritakan bahwa Imam Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah tinggal selama 40 tahun dan setiap harinya menulis 40 lembar. Muridnya, Abu Muhammad Al-Farghani rahimahullah bercerita bahwa beberapa murid Ibnu Jarir menghitung hari-hari dari hidup beliau semenjak baligh hingga wafat dalam usia 86 tahun. Kemudian mereka membagi karyanya dengan usianya, hingga berjumlah 14 lembar setiap hari. Ini sesuatu yang tidak akan mungkin dilakukan oleh seseorang makhluk tanpa bimbingan yang baik dari Alloh 'Azza wa Jalla.” [lihat Tarikh Baghdad, Al Baghdadi 2/162]

Imam Muhammad bin Thahir Al Maqdisi berkata, ”Saya menulis Shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim, dan Abu Dawud 7 kali. Saya juga menulis Sunan Ibnu Majah 10 kali.” [lihat Tarikh Baghdad, Al Baghdadi 6/31]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, ”Saya telah menulis dengan tangan saya ini 2000 jilid kitab. Dan orang-orang yang bertaubat melalui tangan saya ini mencapai 100.000 orang.” [lihat: Tadzkiratul Huffadh, Adz Dzahabi rahimahullah4/1242]
Angka yang fantastis! Jika kita asumsikan jumlah lembaran setiap jilidnya adalah 100 lembar maka beliau telah menulis 2000 x 100 lembar = 200.000 lembar = 400.000 halaman!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Syaikh Abul Faraj (yakni Imam Ibnul Jauzi ) adalah seorang mufti yang banyak menulis. Beliau memiliki karya tulis dalam tema-tema beragam. Saya mencoba menghitungnya dan saya melihatnya lebih dari 1.000 karya tulis.” [lihat Tadzkiratul Huffadzh, Adz-Dzahabi rahimahullah 1/415]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali ketika menulis biografi Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, ”Tidak ada disiplin ilmu yang ada kecuali beliau memiliki karangan seputarnya. Beliau (Ibnul Jauzi) ditanya tentang jumlah karangannya, beliau menjawabnya lebih dari 340 kitab.”

Al Muwaffaq Abdul Latif rahimahullah berkata, “Ibnul Jauzi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya sedikitpun. Beliau menulis dalam sehari 4 buah buku tulis, dan setiap tahunnya karya tulis beliau dicetak 50-60 jilid.”

Syaikh Al-Qummi rahimahullah menyebutkan bahwa serbuk pena Imam Ibnul Jauzi (yakni apa yang jatuh dari pensil ketika diraut) dikumpulkan hingga banyak sekali. Ibnu jauzi mewasiatkan agar serbuk pena tersebut kelak digunakan untuk memanasi air yang akan dipakai untuk memandikan mayatnya. Kemudian wasiat itu ditunaikan dan serbuk pena itu cukup (untuk memanaskan air) dan masih ada yang tersisa darinya.” [lihat Dzail Thabaqotil Hanabilah , Imam Ibnu rajab rahimahullah 1/412]

Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, ”Saya telah menulis dengan tangan saya ini satu juta hadits.” Adz-DZahabi mengomentari dan berkata, ”Yaitu jumlah ini untuk satu hadits.” [lihat Al Kuna Wal Qaab, Al-Qummy 1/242]

Al-Kautsari berkata, ”Tafsir Abu Yusuf Al Qozwaini yang berjudul “Hadaaiq Dzaata Bahjah” dikatakan terdiri dari paling kurang 300 jilid. Al-Hafidz Ibnu Syahin juga memiliki tafsir sebanyak 1.000 Jilid; Al-Qadli Abu Bakar Ibnul Arabi rahimahullah memiliki kitab Anwaarul Fajr dalam bidang tafisr sebanyak 80.000 lembar, dan Ibnu An-Nuqaib Al-Maqdisi memiliki tafsir sekitar 100 Jilid.” [lihat Maqalatul Kautsari]

Profesor Muhammad Al-Hajawi berkata, ”Imam Abid Dunya rahimahullah meninggalkan 1.000 Kitab; Imam Ibnu Asakir rahimahullah menuliskan kitabnya “Tarikh Al-Dimasqi” dalam 80 jilid; Imam Abu Abdillah Al-Hakam Al-Naisaburi rahimahullah menulis 1.500 juz; Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menulis 300 kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang dimuat dalam 500 jilid; Murid beliau yaitu Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menulis 500 kitab; Imam Al-Baihaqi rahimahullah menulis 1.000 jilid hadits; Imam Abu bakar Ibnul Arabi Al-Maliki rahimahullah menulis tafsirnya yang besar dalam 80 juz; Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menulis 1.000 lembar hanya membahas satu masalah yaitu “Apakah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam melaksanakan haji Qiran, Tamattu, atau Ifrad?”. Imam Abdul malik bin Habib rahimahullah seorang ulama Andalusia memiliki karngan 1.000 kitab .” [lihat Al Fikrus Sami’ fi Tarikhil Fiqhil Islamy oleh Muhammad Al-Hajwi].

Jadi, barangsiapa merasa telah begitu banyak menulis, silakan membandingkan karyanya dengan karya-karya ulama di atas!

Menulislah!

Dengan coakan-coakan tatah di lempeng kayu, dengan sayatan-sayatan peso pengot pada permukaan daun lontar, dengan goresan-goresan tinta pada lembaran kertas, dengan hentakan-hentakan keras pada tombol mesin ketik, atau dengan hentakan-hentakan lembut pada keyboard; hanyalah soal sarana, bahkan sesungguhnya bukan soal. Kaidah fiqih mengatakan bahwa tujuan adalah yang lebih penting sebagaimana akhirat yang menjadi tujuan adalah lebih penting daripada dunia sebagai sarana. Inilah pentingnya substansi tulisan yang mengindikasikan sebuah tujuan. Itulah kenapa ada menulis yang berpahala, ada menulis yang haram. Tentu saja, menulislah yang berpahala. Menulislah yang berpahala atau diam.




Menulislah!

Menulis adalah menulis untuk menegakkan kalimat Allah dan menebarkan ilmu yang bermanfaat.

Senin, 09 Maret 2009

Kenapa Data Mining Disebut sebagai “Ilmu Muda yang Prospektif”? (part 1)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama tentu saja pastikan bahwa kita memahami apa itu data mining. Inilah makna dari pepatah Arab “Fahmus su’al nishfuj jawab” : mengerti maksud dari pertanyaan adalah separuh jalan menuju jawaban. Jangan bermimpi bisa menjawab pertanyaan – pertanyaan apapun itu – dengan benar jika maksud dari pertanyaan atau bahkan maksud dari subpertanyaan pun kita tidak mengerti; sedangkan orang yang mengerti maksud pertanyaan pun belum tentu kemudian menjawabnya dengan benar karena dari posisi orang itu ke jawaban yang benar masih ada jarak separuh jalan lagi. Oleh sebab itu jika ketika mendapat pertanyaan tersebut kita justeru balik bertanya, “Data mining itu semacam data tentang perusahaan tambang di dunia bukan?” atau bahkan “Data mining itu makanan apa ya?”, alamat kita harus membaca dulu artikel saya yang satu ini.

Jika kita sudah relatif tidak bermasalah dengan pengetahuan dasar data mining yang merupakan modal utama untuk menjawab pertanyaan di atas, kita masih harus mengupas pertanyaan di atas lebih lanjut sebelum menjawabnya – seperti mengupas bawang: sesiung demi sesiung. Apa sesungguhnya yang benar-benar ditanyakan dengan pertanyaan itu? Kenapa data mining disebut sebagai “ilmu muda yang prospektif”? dengan kata muda dicetak miring atau Kenapa data mining disebut sebagai “ilmu muda yang prospektif”? dengan kata prospektif dicetak miring? Itu adalah dua pertanyaan yang berbeda. Untunglah kita akan menjawab kedua-duanya.

Kenapa data mining disebut sebagai “ilmu muda yang prospektif” dapat dijelaskan pertama-tama dengan memperhatikan tabel yang disebut sebagai timeline evolusi teknologi basisdata di bawah ini.



Timeline di atas jelas menunjukkan bahwa ternyata data mining masih muda, bahkan remaja! Jika dianalogikan dengan fase kehidupan manusia ia berada di sekitar usia SMP atau SMA pada hari ini. Bandingkan dengan usia bapak dan abang-abangnya di mana ia belajar dan mengambil ide dari mereka: matematika /statistik yang sudah ratusan atau bahkan ribuan tahun, teknologi mesin pembelajar yang sudah berkepala lima, dan teknologi basisdata yang sudah setengah baya. Sebagaimana kata Plato “Necessity if the mother of invention” data mining adalah penemuan baru era 90-an yang tampil sebagai jawaban atas kebutuhan yang tidak ada sebelumnya. Kebutuhan baru itu adalah kebutuhan untuk membuat “onggokan data raksasa” – onggokan ajaib yang baru ditemukan pada beberapa tahun yang lalu itu – tidak sekedar sebagi onggokan, namun bisa menjadi lahan pertambangan penghasil emas permata pengetahuan dan informasi yang berkilauan penuh manfaat.

Akan tetapi perlu saya tekankan di sini bahwa meskipun data mining sebagai sebuah disiplin ilmu yang tersendiri dan mapan adalah sangat belia, sesungguhnya cikal bakal tradisionalnya telah ada bahkan sejak kehidupan manusia berawal. Jika data mining hanya dipandang sebagai analisis pencarian pola dari data minus aspek otomatisasi dan skalabilitasnya, maka analisis pencarian pola sudah dilakukan bahkan oleh bapak-bapak kita di awal kehidupan manusia. Pemburu mencari pola pergerakan binatang buruan; petani mencari pola musim dan pertumbuhan tanaman; politisi mencari pola opini pemilih; bahkan para pecinta mencari pola respon para kekasih mereka. Itu semua adalah bentuk-bentuk pencarian pola dari data dalam bentuk-bentuknya yang paling tradisional. Sungguh sayang, dengan menyesal kita menyatakan bahwa praktik-praktik bapak-bapak kita tersebut tidak bisa kita kategorikan sebagai data mining karena batasan-batasan kerumitan yang kita tetapkan dan tentu saja… agar data mining tetap bisa kita nyatakan sebagai ilmu yang masih belia nan imut. (To be continued…)

Referensi:
- Introduction to Data Mining (Tan, Steinbach, & Kumar)
- Data Mining Concepts and Techniques (Han & Kamber)
- Data Mining: Practical Machine Learning Tools and Techniques (Witten & Frank)

We are Drowning in Data but Starving for Knowledge!

Biasanya pembahasan tentang data mining dimulai dari cerita tentang apa yang disebut sebagai “ledakan data”. Disebutkan di sejumlah referensi bahwa jumlah data di dunia mengganda menjadi 2 kali lipatnya setiap 20 bulan. Hal itu terjadi karena data bertambah dalam orde per detik, serentak, melalui berbagai jalur, dan dalam partai besar, mulai dari data web, data e-commerce, data pembelian di grosir dan supermarket, data transaksi di bank, data telekomunikasi, hingga data satelit. Hal itu juga tidak lepas dari dampak perkembangan cepat bidang perangkat keras yang membuat komputer sebagai alat pengumpul data menjadi kian murah, tapi pada saat yang sama, juga kian powerful. Di lain pihak peningkatan data yang eksponesial itu sama sekali tidak diimbangi oleh jumlah analis data (Lihat gambar di bawah). Terciptalah di dunia ini apa yang disebut sebagai “onggokan data raksasa” dan tercetuslah idiom yang terkenal ini: “We are drowning in data but starving for knowledge!”. Ya, kita semua tenggelam dalam data tapi dilanda kelaparan akan pengetahuan, kurang lebih menyerupai ayam mati di lumbung padi. Data mining lahir untuk memecahkan masalah ini.



Dengan menggabungkan beberapa definisi dari beberapa sumber, saya merumuskan ini dia definisi yang paling komprehensif untuk data mining: eksplorasi dan ekstraksi non-trivial akan informasi / pola / aturan yang implisit, tidak diketahui sebelumnya, dan potensial berguna dari sekumpulan besar data menggunakan kakas otomatis atau semiotomatis. Jika kita harus menerjemahkan setiap istilah penting ke dalam bahasa Indonesia, definisi di atas menuntun kita untuk menerjemahkan data mining cenderung sebagai “penambangan data” alih-alih "pertambangan data”. Kenyataannya kita tidak harus, bahkan tidak perlu, menggunakan bentuk Indonesia untuk setiap istilah kita karena, seperti yang kita ketahui bersama, data mining tetap disebut data mining, bahkan kebanyakan tanpa dicetak miring, dalam artikel-artikel berbahasa Indonesia.

Referensi:
- Introduction to Data Mining (Tan, Steinbach, & Kumar)
- Data Mining Concepts and Techniques (Han & Kamber)

Sabtu, 07 Maret 2009

Slamet Ijo

Ayahku bercerita kepadaku pada suatu malam, dan kali ini beliau bercerita tentang hal usang, “Ketika bangsa Jepang bercokol di negeri kita, ada orang dari Dlimas di seberang kali Macanan bernama Slamet yang biasa dipanggil sebagai Slamet Ijo. Ia adalah saudara laki-laki dari Ibu dari Bu Amin yang memiliki anak Mbak Tari yang sekarang tinggal di bawah pohon langsat di samping rumah Lik Larah. Slamet Ijo mendapat gelar Ijo di belakang namanya karena ia selalu memakai celana berwarna ijo. Jangan bayangkan semua celananya berwarna ijo karena bukan begitu duduk perkaranya. Semua orang pada waktu itu tahu bahwa celana ijonya itu adalah satu-satunya celana yang ia miliki, bahkan tampaknya satu-satunya barang-yang-bisa-dipakai yang ia miliki, dan satu-satunya barang-yang-bisa-dipakai itulah yang ke mana-mana membuat auratnya tertutup tapi membiarkan dadanya terbuka. Dan jangan bayangkan pula bahwa bahan celananya itu adalah dari katun atau dari kain-kain lain seperti yang kaupakai. Anak sekarang hanya tahu bahan ini ada di gudang beras sebagai kantung pembungkus beras. Padahal pada zaman itu orang-orang memakai pakaian dari goni sebagai ganti kain, di samping juga memakan bonggol pisang sebagai ganti nasi.”

Tanyaku, “Satu-satunya? (maksudku tentang celana Slamet Ijo tadi)”

Beliau tegaskan, “Satu-satunya.”

Lanjutku dengan teka-teki di kepalaku, “Lalu jika benar itu celananya satu-satunya, apa yang ia pakai ketika celana itu dicuci, Ayah? Jangan-jangan sudah itu celana satu-satunya, tidak pernah dicuci pula. Sudah zaman itu paceklik sandang pangan, paceklik air pula.”

Jawab beliau, “Untunglah ia mencucinya. Dan tentang satu-satunya itu, itulah kenapa pada hari ia mencucinya ia harus berlama-lama meringkuk di dalam belik*) , tentu saja tanpa satu benang pun menempel di tubuhnya, sampai celana itu kering dijemur. Apalah dia tanpa secarik goni itu jika ia berjalan-jalan di keramaian kecuali tentulah akan dianggap laki-laki gila. Setelah celananya kering beberapa jam kemudian, barulah ia memakai kembali celananya dan berani melenggang keluar ke dunia yang penuh kesulitan yang sesungguhnya tidak lebih nyaman daripada meringkuk di sebuah belik di bawah pohon beringin.”

Aku tahu ada Slamet Ijo-Slamet Ijo yang lain pada zaman itu yang menderita dengan cara unik seperti itu. Aku bahkan tahu bahwa ayahku pun pada zaman itu menderita dengan cara beliau sendiri karena pada zaman itu semua orang menderita dengan cara mereka masing-masing. Tapi aku terlalu mencintai ayahku untuk menanyakan hal itu kepadanya.

*) Belik = mata air yang diberi dinding penutup ala kadarnya, digunakan untuk mandi dan mencuci di daerah pedesaan