Tampilkan postingan dengan label Opinion. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Opinion. Tampilkan semua postingan

Rabu, 26 Agustus 2009

PELAJARAN DARI TEMPAT SAMPAHKU

Sebenarnya tidak ada yang tercela dengan sebuah tong kosong hanya karena bunyinya nyaring saat orang memukulnya atau berteriak di dalamnya. Meski demikian, dalam “Tong kosong berbunyi nyaring” orang bijak telah menempatkan benda itu pada konteks yang menyedihkan di mana semua orang mulai dari anak SD sampai dengan politisi mengingat sebuah tong kosong pada konteks tersebut. Nasib yang sama menimpa benda-benda lain semisal air beriak yang menjadi “tercela” karena ternyata tidak dalam, air yang menempel di daun talas yang sesungguhnya indah tapi justeru dijadikan perumpamaan bagi suatu karakter buruk, kaca mata kuda, kucing yang dibungkus karung (dan diperjualbelikan. Ada ya?), kusir (yang suka berdebat?), dan sebagainya.

Demikian juga tidak ada yang tercela dengan perbuatan seorang kasir sebuah toko di Pasar Baru - Jakarta ketika aku membeli sebuah tempat sampah beberapa pekan yang lalu, tapi perbuatannya itu telah mengilhamiku untuk menjadikannya perumpamaan bagi sesuatu yang cukup buruk. Memangnya perbuatan macam apa yang ia lakukan? Si kasir melakukan sesuatu sedemikian rupa sehingga hal pertama yang masuk ke dalam tempat sampahku adalah salah satu simbol formal dari toko si kasir itu sendiri. Aku hanya ingin mengatakan bahwa setelah struk keluar dari printer, si kasir dengan gaya sangat terlatih menaruh tanda pembayaran itu ke dalam tempat sampah – ya, tepat di dasar tempat sampah itu! - sebelum kemudian memberikannya kepadaku. Saat itu seolah-olah ia berkata kepadaku, “Jika kau menganggap struk dari tokoku ini tak berguna atau bahkan menjijikkan, setidaknya aku telah membantumu membuangnya ke tempat yang benar.” Kalimat yang tidak nyaman didengar jika sungguh-sungguh pernah terlontarkan ke dunia ini.

Mungkin kau pernah menemui orang yang secara langsung atau tidak langsung menghinakan dirinya sendiri. Dialah orang yang terhina tanpa hinaan orang lain kecuali dirinya sendiri sajalah yang secara mengherankan justeru menimpakan hinaan atas dirinya. Itu bisa terjadi pada orang yang secara ironis justeru membuka aibnya sendiri tanpa adanya suatu hal yang memaksa di mana hal itu membawa akibat mahamengerikan dengan berubahnya keadaan orang-orang dari tidak tahu menjadi tahu akan aibnya itu. Nah, perbuatan orang itu bak perbuatan kasir di Pasar Baru yang kuceritakan di atas, yakni “Bak menyertakan struk toko sendiri di dalam tempat sampah yang terjual”.

Alih-alih mengumpamakan orang lain, mestinya aku berdoa saja agar postinganku ini tidak masuk kriteria “Tong kosong berbunyi nyaring”:(

Sabtu, 25 April 2009

Aliran Oh Aliran



Ada dua buah kata dalam Sunda yang sampai sekarang membuat saya tidak juga habis pikir: aliran dan abdas.

1. Aliran

Gambaran tentang makna kata aliran dapat dilihat dari ilustrasi di bawah ini:

Seorang remaja laki-laki keluar dari rumahnya dan langsung memeriksa meteran listrik. Seorang ibu-ibu di rumah sebelah berkata kepada si remaja, “Lain ngejepret, Jang. Ieu mah emang nuju aliran dina sadaya Kiara Condong. Ua oge keur ningali Maria Mercedes bade dipaehan jeung Malvina, ee tipina malah pareum. (Bukan ngejepret, Jang. Ini sih memang aliran di seluruh Kiara Condong. Ua juga sedang nonton Maria Mercedes akan dibunuh oleh Malvina, ee tifinya malah mati.)”

Si remaja berjalan masuk kembali ke rumah sambil bersungut-sungut. “Aliran deui, aliran deui. PLN teh meuni teu ningal-ningal urang keur seuer tugas komputer. (Aliran lagi, aliran lagi. PLN tuh ga liat-liat aku lagi banyak tugas komputer.) ”

Selain bahwa kejadian di atas berseting di tahun 90-an di mana menonton telenovela bagi ibu-ibu adalah lebih wajib daripada memasak, kesimpulan yang bisa kita tarik dari ilustrasi di atas adalah bahwa makna kata aliran dalam Sunda mengacu kepada satu di antara dua tipe mati listrik yang bisa terjadi di rumah kita. Jika ngejepret adalah tipe mati listrik yang bersifat lokal di sebuah rumah akibat konsleting atau kelebihan beban di rumah yang bersangkutan yang mengakibatkan saklar di meteran ngejepret turun, maka aliran melanda secara global di sebuah wilayah tertentu akibat pemadaman bergilir oleh PLN atau bencana alam yang merusak infrastruktur jaringan listrik. Berbeda dengan aliran dalam Indonesia yang berkedudukan dan berperilaku sebagai kata benda, dalam Sunda aliran berperilaku sebagai kata kerja atau kata sifat. Dengan demikian Anda bisa menggunakan kata aliran misalnya dalam frase nuju aliran yang bermakna sedang mati listrik, atau dalam frase parantos teu aliran deui yang bermakna sudah tidak mati listrik lagi, dsb-dsb.

2. Abdas

Jika Indonesia memilih untuk menyerap saja kata wudhu dari Arab untuk mengacu kepada aktivitas mensucikan diri bagi seorang muslim sebelum menjalankan ibadah-ibadah suci tertentu, maka untuk mengacu kepada aktivitas yang sama orang Sunda lebih memilih untuk membuat kosa kata mereka sendiri: abdas. Akan sangat sering kita jumpai dari dalam sebuah rumah di daerah Sunda terdengar suara seorang ibu kepada anaknya dengan kalimat semacam ini: “Neng, geura ka cai atuh, abdas, tuluy netepan shalat maghrib. (Neng, cepatlah ke kamar mandi, wudhu, terus shalat maghrib.) ”

Itulah mereka dua kata dalam Sunda yang membuat saya diam-diam merenung. Merenung dan mereka-reka kira-kira bagaimana latar belakang berpikir orang Sunda ketika mempercayakan dan mewakilkan makna-makna yang saya ceritakan di atas kepada dua kata itu. Maka inilah dia hasil analisis reka-rekaan saya dalam permasalahan ini:

Sepertinya asal-usul kata aliran dan abdas dalam Sunda analog dengan asal-usul kata meriam dalam Indonesia. Tentang meriam, konon pada zaman penjajahan dulu para serdadu Potugis melakukan ritual doa dulu sebelum menembakkan peluru dari senjata berlaras-raksasa itu. Ritual doa itu di antaranya dinyatakan dengan bait yang berbunyi Santa Maria -- Mae de Deus -- dst”. Maka dari potongan kalimat “… Maria—M..” itu jadilah orang Indonesia dipelopori oleh orang Banda (mungkin setelah melalui proses penyesuaian dan penyamanan yang panjang) menyebut senjata itu sebagai meriam.

Dengan logika aneh yang sama, tampaknya orang Sunda telah memasukkan kata aliran ke dalam kosa kata mereka setelah mendengar para petugas perbaikan dari PLN ketika tengah memperbaiki penyebab matinya listrik banyak menyebut kata aliran dalam Indonesia. Para petugas itu misalnya mengatakan, “Lihat, Sep, pohon yang tumbang akibat badai ini telah memutuskan kabel sehingga aliran listrik terputus,” atau kalimat-kalimat lain yang mengandung kata aliran dengan tingkat keseringan yang tinggi sehingga mengilhami orang Sunda untuk menyebut kejadian mati listrik yang membuat banyak keresahan itu sebagai aliran.

Begitupun sepertinya karena para penyebar agama Islam dulu banyak menyebut kata hadats — atau lebih mudahnya hadas — ketika menerangkan masalah wudhu, nenek moyang orang Sunda kemudian menamai aktivitas mensucikan diri itu dengan sebutan abdas, tentu saja setelah berbagai distorsi pendengaran dan pengucapan yang pada suatu titik telah mengubah ha pada hadas menjadi ab. Masalahnya, jika memang benar demikian asal-usul kata abdas di Sunda yang notabene mengacu kepada aktivitas mensucikan diri, maka sungguh dalam kasus ini telah terjadi kerancuan logika berpikir yang fatal jika mengingat bahwa hadats sesungguhnya justeru bermakna kotoran yang kontradiktif dengan konsep mensucikan diri itu sendiri. Akan tetapi jika asal-usul tersebut ternyata tidak benar alias keliru, yeah maklumlah, namanya juga cuma reka-rekaan saya sendiri. He-he..

Semoga artikel ini bermanfaat. Bagi Anda yang non-Sunda, dengan ini paling tidak kosa kata Sunda Anda bertambah dengan dua kata aneh itu.

Kamis, 12 Maret 2009

Kompresi Doa yang Lossy


Seperti yang kita ketahui bersama, ada beberapa singkatan / kependekan dalam teks-teks berbahasa Indonesia untuk beberapa ungkapan islamiy tertentu. Kependekan-kependekan tersebut telah menjadi semacam konvensi umum dalam bahasa tulis bangsa kita dan telah dibudayakan dalam keseharian kita sejak hari pertama kita menerima pelajaran agama Islam di bangku sekolah dasar. Mereka ini:
  • SWT untuk Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan sanjungan bagi Allah;

  • SAW untuk Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan doa bagi Nabi Muhammad;

  • AS untuk ‘Alaihi salam yang merupakan doa untuk para nabi dan malaikat;

  • RA untuk Radhiyallahu ‘anhu / ‘anha / ‘anhuma / ‘anhum yang merupakan doa untuk shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;

  • RA juga untuk Rahmatullah ‘alaih yang semakna dengan rahimahullah yg merupakan doa untuk ulama dan orang-orang shalih yang sudah wafat;

  • Ass(wrwb). untuk Assalamu’alaykum (wa rahmatullahi wa barakatuh);

  • Ada lagi?

    Oh ya, saya pernah menemui seseorang menuliskan WWW untuk menjawab salam saya. Oke, kita dapat satu lagi:

  • WWW untuk Waalaykum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.


Barangkali kita semua tahu betul akan maksud singkatan-singkatan itu ketika seorang penulis menggunakannya dalam sebuah tulisan, dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tahu akan maksud segala hal di dunia ini. Akan tetapi marilah kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini:

1. Semua ungkapan itu adalah ungkapan suci, agung, dan doa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala rabb semesta alam — ungkapan-ungkapan yang mestinya kita nyatakan dengan penuh pengagungan, dengan seserius dan seelegan mungkin. Menggunakan versi kependekan dari sebuah doa dalam porsinya mengindikasikan keengganan. Dan bukankah sebuah singkatan secara umum memang dibuat untuk alasan kepraktisan yang dalam ungkapan kasarnya sesungguhnya merupakan bentuk dari kemalasan manusia? Sebaliknya, menggunakan versi utuh dalam mengungkapkan sesuatu memiliki nilai pengagungan, keseriusan, dan keeleganan yg lebih tinggi, tentunya.

2. Singkatan itu menyerupai kompresi lossy untuk multimedia yang memampatkan objek dengan konsekuensi info-info tertentu bakal terhilangkan atau aspek-aspek tertentu bakal terkaburkan. Meskipun kita tetap bisa menangkap maksud doa ketika seseorang menggunakan versi singkatannya seperti halnya kita tetap bisa menangkap maksud gambar yang sudah dikompres, sesungguhnya di sana tetap ada hal-hal yang hilang dan terkaburkan. Ketika seseorang menggunakan versi singkatan dari doa, sedikit banyak ada bagian yang hilang dari kesadarannya akan doa yang ia ungkapkan. Sebaliknya, menuliskan mereka secara utuh lebih menunjukkan kesadaran kita akan apa yang kita tuliskan. Penulisan dalam versi utuh lebih menjelaskan maksud, yang dengan cara itu kita memberi tahu yang belum tahu, mengingatkan yang terlalai, menjadi pembelajaran bagi setiap yang membacanya, dan menghilangkan ambigu.

Tentang ambigu, seperti yang kita lihat di atas, di sana paling tidak ada sebuah singkatan, yakni RA, yang mengandung begitu banyak ambigu: apakah ia bermaksud Radhiyallahu ‘anhu atau Radhiyallahu‘anha atau Radhiyallahu‘anhuma atau Radhiyallahu‘anhum, atau justeru Rahmatullah ‘alaih yang dalam beberapa kasus juga masih perlu diperjelas apakah Rahmatullah ‘alaihi atau ‘alaiha dst. Lossy sekali bukan?

3. Beberapa doa dalam versi yg sudah dipendekkan itu ternyata bisa dibelokkan kepada makna yang tidak nyambung atau bahkan sama sekali tidak layak, seperti ass yang bisa dibelokkan menjadi kata dalam bahasa Inggris yang makna tidak layaknya telah kita ketahui bersama. Contoh lain adalah WWW yang waktu itu sempat membuat saya mengira bahwa ia akan memberikan saya sebuah alamat website, dsb dsb. Argumen ini sudah mempertimbangkan su'uzhan kita bahwa sesungguhnya penulis singkatan tidak pernah memaksudkan singkatan-singkatan yang ia buat kepada makna-makna yang menyimpang seperti yang baru saja tersebut.

Menimbang hal-hal tersebut di atas, terang benderang bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan islamiy dan doa-doa tersebut dalam versi utuhnya lebih baik daripada menuliskan mereka dalam versi kependekan mereka. Saya sama sekali tidak bermaksud membawa permasalahan ini ke ranah halal-haram yang menjadi wewenang para mufti, tapi marilah kita melihatnya sebagai permasalahan akhlak dan adab kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Wallahu a’lam bishshawab.