Selasa, 10 Maret 2009

Menulislah!

Menulislah!

Meskipun membaca adalah perintah pertama Allah kepada ummat Islam, dalam banyak kasus menulis adalah aktivitas yang memiliki tingkatan lebih tinggi. Hal itu serupa dengan bahwa sabar, bukannya ridha atau syukur, adalah hal yang diperintahkan kepada hamba ketika hamba mendapat musibah, padahal ridha dalam situasi itu adalah lebih utama, dan syukur dalam situasi yang sama adalah lebih utama lagi. Sabar adalah perintah minimal untuk setiap hamba penanggung musibah, akan tetapi ridha apalagi syukur adalah lebih mulia jika ia sanggup melakukannya. Kembali kepada permasalahan awal, serupa dengan itu membaca adalah perintah minimal bagi seorang muslim, akan tetapi seorang muslim harus menulis jika ia memiliki kesanggupan, ingin mendapat keutamaan lebih, dan ingin berbagi manfaat kepada manusia.



Membaca serupa dengan mendengarkan, menulis serupa dengan berbicara. Membaca adalah menerima, menulis adalah memberi. Seorang tidak akan bisa menulis jika ia tidak pernah membaca karena mana mungkin memberi jika tidak pernah menerima. Kau sudah pasti pernah membaca jika kau pernah menulis; dan tidak sebaliknya.

Membaca adalah kewajiban, tapi tidak akan ada sesuatupun yang bisa dibaca jika tidak ada yang telah menuliskan sesuatu sebelumnya. Hanya dengan adanya pihak yang telah menulis sebelumnya kau bisa membaca.

Dan ketahuilah, perintah "Iqra'", yakni "Bacalah!", termaktub di sebuah ayat pendek, sedangkan perintah "...falyaktubuuh", yakni "...maka tulislah (transaksi utang-piutang itu)" termaktub di ayat terpanjang di mana satu ayat ini saja telah mengisi satu halaman penuh mushaf kita tanpa menyisakan sedikitpun ruang bahkan untuk satu huruf dari ayat lain.

Menulislah!

Sebrilian apapun ide-idemu, yang akan diketahui oleh dunia dan bermanfaat bagi manusia hanyalah yang kautuliskan. Jasadmu akan binasa, sedang tulisanmu akan kekal.



Menulislah!

Menulis adalah tradisi ilmiah para ulama. Ada dua “Tidak” yang menggambarkan tradisi itu:
1. Tidak ada ulama yang tidak menulis; dan
2. Tidak ada yang menulis seperti ulama. Kemampuan dan produktivitas menulis para ulama benar-benar nyaris tidak masuk akal.

Betulkah? Perhatikan fakta berikut ini:

Imam Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullah ketika menulis biografi Ibnu Uqail berkata, ”Ibnu Uqail memiliki banyak karya tulis dalam berbagai disiplin ilmu, yakni lebih dari 20 karya tulis. Karyanya yang paling besar adalah kitab Al-Funun, yaitu kitab yang besar sekali.” Al Hafidz Adz-Dzahabi rahimahullah berkata, ”Tidak pernah ditulis di dunia ini kitab yang lebih besar dari kitab Al-Funun. Saya diberitahu oleh orang yang pernah melihatnya bahwa kitab ini terdiri dari di atas 400 jilid!” Ibnu Rajab rahimahullah menambahkan, ”Sebagian orang menyebutkan kitab Al-Funun terdiri dari 800 jilid!”

Al-Khatib Al-Baghdadi rahimahullah berkata, ”Saya mendengar As-Samsami menceritakan bahwa Imam Ibnu Jarir At-Thabari rahimahullah tinggal selama 40 tahun dan setiap harinya menulis 40 lembar. Muridnya, Abu Muhammad Al-Farghani rahimahullah bercerita bahwa beberapa murid Ibnu Jarir menghitung hari-hari dari hidup beliau semenjak baligh hingga wafat dalam usia 86 tahun. Kemudian mereka membagi karyanya dengan usianya, hingga berjumlah 14 lembar setiap hari. Ini sesuatu yang tidak akan mungkin dilakukan oleh seseorang makhluk tanpa bimbingan yang baik dari Alloh 'Azza wa Jalla.” [lihat Tarikh Baghdad, Al Baghdadi 2/162]

Imam Muhammad bin Thahir Al Maqdisi berkata, ”Saya menulis Shahih Al-Bukhori, Shahih Muslim, dan Abu Dawud 7 kali. Saya juga menulis Sunan Ibnu Majah 10 kali.” [lihat Tarikh Baghdad, Al Baghdadi 6/31]

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, ”Saya telah menulis dengan tangan saya ini 2000 jilid kitab. Dan orang-orang yang bertaubat melalui tangan saya ini mencapai 100.000 orang.” [lihat: Tadzkiratul Huffadh, Adz Dzahabi rahimahullah4/1242]
Angka yang fantastis! Jika kita asumsikan jumlah lembaran setiap jilidnya adalah 100 lembar maka beliau telah menulis 2000 x 100 lembar = 200.000 lembar = 400.000 halaman!

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, ”Syaikh Abul Faraj (yakni Imam Ibnul Jauzi ) adalah seorang mufti yang banyak menulis. Beliau memiliki karya tulis dalam tema-tema beragam. Saya mencoba menghitungnya dan saya melihatnya lebih dari 1.000 karya tulis.” [lihat Tadzkiratul Huffadzh, Adz-Dzahabi rahimahullah 1/415]

Imam Ibnu Rajab Al Hambali ketika menulis biografi Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata, ”Tidak ada disiplin ilmu yang ada kecuali beliau memiliki karangan seputarnya. Beliau (Ibnul Jauzi) ditanya tentang jumlah karangannya, beliau menjawabnya lebih dari 340 kitab.”

Al Muwaffaq Abdul Latif rahimahullah berkata, “Ibnul Jauzi tidak pernah menyia-nyiakan waktunya sedikitpun. Beliau menulis dalam sehari 4 buah buku tulis, dan setiap tahunnya karya tulis beliau dicetak 50-60 jilid.”

Syaikh Al-Qummi rahimahullah menyebutkan bahwa serbuk pena Imam Ibnul Jauzi (yakni apa yang jatuh dari pensil ketika diraut) dikumpulkan hingga banyak sekali. Ibnu jauzi mewasiatkan agar serbuk pena tersebut kelak digunakan untuk memanasi air yang akan dipakai untuk memandikan mayatnya. Kemudian wasiat itu ditunaikan dan serbuk pena itu cukup (untuk memanaskan air) dan masih ada yang tersisa darinya.” [lihat Dzail Thabaqotil Hanabilah , Imam Ibnu rajab rahimahullah 1/412]

Imam Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata, ”Saya telah menulis dengan tangan saya ini satu juta hadits.” Adz-DZahabi mengomentari dan berkata, ”Yaitu jumlah ini untuk satu hadits.” [lihat Al Kuna Wal Qaab, Al-Qummy 1/242]

Al-Kautsari berkata, ”Tafsir Abu Yusuf Al Qozwaini yang berjudul “Hadaaiq Dzaata Bahjah” dikatakan terdiri dari paling kurang 300 jilid. Al-Hafidz Ibnu Syahin juga memiliki tafsir sebanyak 1.000 Jilid; Al-Qadli Abu Bakar Ibnul Arabi rahimahullah memiliki kitab Anwaarul Fajr dalam bidang tafisr sebanyak 80.000 lembar, dan Ibnu An-Nuqaib Al-Maqdisi memiliki tafsir sekitar 100 Jilid.” [lihat Maqalatul Kautsari]

Profesor Muhammad Al-Hajawi berkata, ”Imam Abid Dunya rahimahullah meninggalkan 1.000 Kitab; Imam Ibnu Asakir rahimahullah menuliskan kitabnya “Tarikh Al-Dimasqi” dalam 80 jilid; Imam Abu Abdillah Al-Hakam Al-Naisaburi rahimahullah menulis 1.500 juz; Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menulis 300 kitab dalam berbagai disiplin ilmu yang dimuat dalam 500 jilid; Murid beliau yaitu Imam Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah menulis 500 kitab; Imam Al-Baihaqi rahimahullah menulis 1.000 jilid hadits; Imam Abu bakar Ibnul Arabi Al-Maliki rahimahullah menulis tafsirnya yang besar dalam 80 juz; Imam Abu Ja’far Ath-Thahawi rahimahullah menulis 1.000 lembar hanya membahas satu masalah yaitu “Apakah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam melaksanakan haji Qiran, Tamattu, atau Ifrad?”. Imam Abdul malik bin Habib rahimahullah seorang ulama Andalusia memiliki karngan 1.000 kitab .” [lihat Al Fikrus Sami’ fi Tarikhil Fiqhil Islamy oleh Muhammad Al-Hajwi].

Jadi, barangsiapa merasa telah begitu banyak menulis, silakan membandingkan karyanya dengan karya-karya ulama di atas!

Menulislah!

Dengan coakan-coakan tatah di lempeng kayu, dengan sayatan-sayatan peso pengot pada permukaan daun lontar, dengan goresan-goresan tinta pada lembaran kertas, dengan hentakan-hentakan keras pada tombol mesin ketik, atau dengan hentakan-hentakan lembut pada keyboard; hanyalah soal sarana, bahkan sesungguhnya bukan soal. Kaidah fiqih mengatakan bahwa tujuan adalah yang lebih penting sebagaimana akhirat yang menjadi tujuan adalah lebih penting daripada dunia sebagai sarana. Inilah pentingnya substansi tulisan yang mengindikasikan sebuah tujuan. Itulah kenapa ada menulis yang berpahala, ada menulis yang haram. Tentu saja, menulislah yang berpahala. Menulislah yang berpahala atau diam.




Menulislah!

Menulis adalah menulis untuk menegakkan kalimat Allah dan menebarkan ilmu yang bermanfaat.

0 komentar: