Kutekan nomor itu – sebuah nomor cantik, secantik pemiliknya, tentu. Perlu diketahui bahwa untuk saat ini sajalah, untuk momen ini sajalah, sebenarnya alasanku hidup selama seminggu terakhir. Setelah seminggu penuh pada setiap masa senggangku aku merancang-rancang kata-kata terindah, tibalah kini saatku menggunakannya. Dan setelah selama bertahun-tahun ini Adelia yang terus membuatku terkesan sampai diri mabuk kepayang kepadanya, kini giliranku untuk membuatnya terkesan kepadaku pada pendengaran pertama. Biarlah tahu rasa dia!
“Halo. Adequate Adelia. Aku sedang berbicara dengan siapa?”
Untuk beberapa saat mulutku seperti tercekat demi mendengar suara itu, suara yang paling sangat sangat kutunggu itu. Aku hampir-hampir tidak percaya bisa mendengar suara bidadari seribu satu malam ini pada ponselku sendiri. Dan hampir-hampir hilanglah semua rancangan di kepalaku karena kegugupanku.
“Sang Diva sedang berbicara dengan Ryan,” sahutku, sesuai benar dengan rancangan yang telah kubuat selama berhari-hari, yang segera bisa kugapai kembali.
“Aku belum lagi menjadi diva, dan aku tidak kenal Ryan.”
Ini di luar rancangan! Tidak pernah kuduga sebelumnya ia akan menyahut seperti itu: menolak sanjunganku, dan lebih parah lagi, lupa kepadaku. Betapa dangkal pengalamanku!, rutukku dalam hati, Membuat rancangan saja meleset! Sebisa-bisa aku harus berimprovisasi dalam situasi genting seperti ini. Tapi kupikir aku harus tetap mempertahankan panggilan “sang Diva” untuk menunjukkan kuatnya keyakinan diriku.
Maka dengan agak gugup: “Mm – A–Aku Ryan adik Tessa, mantan teman sang Diva di SMA.”
“Oh ya, ya. Tentang acara ultah perak SMA 5 itu ya? Sori, Dik, aku punya jadwal mendadak harus mendampingi The Corrs manggung di Surabaya pada malam harinya. Jadi selepas syuting di Ciwidey, aku harus langsung mengejar pesawat ke Surabaya, dan… yeah... SMA 5 tidak perlu menunggu kehadiranku.”
Semakin jauh dari rancangan!
Kucoba berargumen “Tapi, sang Diva –“
“Sori, Dik. Meski kita sudah deal duluan, kamu tahu, jadwalku di Surabaya jauuuh lebih penting daripada hanya sebuah acara intern di sebuah sekolah.”
Ini lebih-lebih lagi di luar rancangan!
Dan hanya ini lagi yang bisa keluar dari mulutku: “Tapi, sang Diva –“
“Kuingatkan, jangan lagi panggil aku diva. Itu seperti mengejekku, tau! Dan cari saja artis lain untuk acara sekolahmu itu. Atau… masa tidak ada siswi di 5 yang mewarisi bakatku? Pasti ada. Aku juga dari sana. Gunakan saja dia. Siapa tahu…” Tiba-tiba kudengar suara-suara aneh di seberang sana, suara-suara aneh di belakang Adelia: ”Sudahlah, Adelia manisku… Sudahlah, cantikku…” Suara yang bernada mesra sekali. Tapi sebetulnya yang paling membuatku begidik adalah … itu jenis suara om-om! (The end)
(Copyright © 2007 by Agus Hartoyo)
Rabu, 11 Maret 2009
Cukup Adelia Seorang (Part 3 of 3)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar