Rabu, 11 Maret 2009

Cukup Adelia Seorang (Part 1 of 3)

f
Jika ada kesamaan lain di antara aku dan kakak perempuanku selain kesamaan ibu bapak, kesamaan itu pastilah kesamaan dalam hal kegilaan kami terhadap Adelia. Setelah semua perbedaan kami yang mengesalkan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk tentang motif mana yang cocok untuk sarung telepon rumah kami: pink dengan tebaran bunga-bunga kuning atau hitam-putih Juventus dengan beberapa logo Juventus (Bisa ditebak dengan mudah siapa menginginkan yang pertama dan siapa menginginkan yang terakhir), akhirnya kami berdua disatukan juga dalam satu semangat yang sama, satu semangat yang membara. Itulah semangat mengagumi, mengidolakan, dan memuja dia seorang diri: bidadari, bintang muda yang sedang bersinar, pujaan, dan pahlawan hati kami yang sungguh luar biasa. Tapi dasar kami memang ditakdirkan untuk berbeda dalam sebanyak mungkin hal, maka sama memujanya kemudian juga memuja orang yang sama, tidak berarti sama pula dalam hal cara melakukannya: aku dengan caraku sendiri, kakak perempuanku dengan caranya sendiri.

Kakak perempuanku cenderung memilih untuk meleburkan identitasnya ke dalam identitas Adelia, yang sesungguhnya berarti perlunya ia membuang jauh-jauh motto “Jadilah dirimu sendiri seutuhnya” dan “Jangan pernah merelakan dirimu menjadi bayang-bayang orang lain karena, kata ahli fisika, bagian yang menjadi bayang-bayang selalu merupakan bagian yang terhalang dari cahaya, dan kata dokter, terhalang dari cahaya itu tidak sehat”. Bukan kakak perempuanku namanya jika gaya rambutnya tidak seperti gaya rambut Adelia dalam sinetron terbaru, atau merk kaosnya tidak sama dengan merk kaos favorit Adelia yang pernah diekspos dalam sebuah majalah remaja. Begitupun tentang jenis buku dan genre film favorit. Begitupun tentang kriteria cowok idaman yang memang hampir selalu disebutkan begini oleh hampir semua cewek: baik, dewasa, penuh pengertian,…. Begitupun tentang artis Barat favorit. Begitupun tentang pilihan kartu sim. Faktor anggaran yang tidak memadai saja yang membuat kakak perempuanku dalam hal ponsel hanya mampu menyamai Adelia dalam merk, tidak dalam seri. Tidak bisa lain, mengimitasi Adelia habis-habisan adalah bakat terbesar kakak perempuanku dan hobinya yang paling dominan, yang membuatnya menjadi “Adelia yang sedikit kurang cantik” atau “Adelia minus kemampuan bernyanyi dan berakting”. Kalaupun ada hobi dominannya yang lain, itu juga masih berputar-putar di sekitar topik Adelia: mulai dari mengkoleksi setiap album Adelia dalam segala bentuknya – kaset, CD original, dan CD bajakannya sekaligus, sampai dengan memenuhi dinding kamarnya dengan poster Adelia dalam berbagai pose dan keadaan yang ter-up date setiap dua minggu. Dalam hal menggandrungi sinetron-sinetron yang dibintangi oleh Adelia, tidak perlu dikatakan lagi, kakak perempuanku adalah yang nomor satu.

Ketika Tumenggung Wiraguna yang penguasa tua-tua keladi membujuk Rara Mendut agar mau menjadi selirnya, serta merta kakak perempuanku meradang bukan main seakan-akan ia saja yang akan dipoligami atau seakan-akan ia adalah Rara Mendut itu sendiri. Di antara katanya yang ditujukan kepada Rara Mendut: Jangan mau! Sepantasnya dia itu menjadi kakekmu, bukan suamimu! Jadi berikan saja nenekmu, bukan dirimu, untuk si tua itu! Begitu baru pantas!... Ternyata kemudian Rara Mendut memang benar menolak bujukan itu, maka tersenyum puaslah kakak perempuanku yang barangkali menjadi gembira karena merasa sarannya telah didengarkan dan dituruti oleh Adelia, pemeran Rara Mendut. Padahal sesungguhnya memang demikianlah yang seharusnya – demikianlah yang telah digariskan dalam cerita aslinya sebagaimana tertulis dalam Babad Tanah Jawa, dan di atas segala-galanya, demikianlah yang telah digariskan dalam skenario sinetron. Dan ditinjau dari sudut manapun, saran atau apa saja ucapan kakak perempuanku – termasuk kemarahan-kemarahannya – di hadapan sebuah kotak penuh kabel bernama televisi, tidak punya efek apapun dan sedikitpun terhadap jalan cerita manapun dalam sinetron-sinetron itu.

Pada saat yang lain, pada saat Rara mendut dan Pranacitra yang hendak melarikan diri, tertangkap dan dihadapkan kepada Tumenggung Wiraguna, kakak perempuanku bertanya kepadaku dengan nada sedih sekali: Apakah sebentar lagi Rara Mendut dan kekasihnya akan mati, Ryan? Kujawab: Begitulah, Teh, yang disebutkan dalam cerita aslinya dalam Babad Tanah Jawa. Wiraguna menusuk Pranacitra, dan Pranacitra ditubruk oleh Rara Mendut sehingga tak urung matilah kedua-duanya sekaligus. Tapi jalan cerita begitu tampaknya terlalu singkat untuk sebuah sinetron Rara Mendut Kembang Mataram deh. Boleh jadi dalam sinetron ini dibuat tambahan cerita di mana Rara Mendut dan Pranacitra tiba-tiba dibebaskan dari tahanan Wiraguna oleh seorang pahlawan bertopeng, misalnya, atau Rara Mendut untuk sementara waktu berpura-pura meninggalkan Pranacitra dan bersedia menjadi selir Wiraguna, atau apa saja jalan cerita yang bisa membuat sinetron ini menjadi lebih panjang, lebih memukau, dan tetap mempertahankan rating. Kita tahu, Teh, zaman ini uang adalah raja, dan karenanya, sinetron sebagai bisnis yang sepenuhnya digerakkan oleh kepentingan uang, begitu berkuasa. Ia berkuasa melakukan apa saja demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, tak peduli apapun akibatnya. Ia berkuasa membelokkan cerita dari cerita aslinya yang bahkan sudah berabad-abad; ia berkuasa membuat tren-tren baru yang tidak pernah ada sebelumnya di masyarakat; ia berkuasa menaikkan seseorang menjadi bintang dan melemparkan yang lain ke keranjang babi; ia juga berkuasa memainkan-mainkan ide dan pemikiran di kepala-kepala kita, para penggemarnya yang setia ini, Teh; dan ia bahkan juga berkuasa membalikkan siang jadi malam, malam jadi siang!

Jadi begitulah cara kakak perempuanku memuja Adelia: dengan imitasi dan solidaritas yang meledak-ledak tak kenal lelah, dengan cara para wanita – cara yang kadang tidak kumengerti. Biasanya aku hanya menjadi sedikit lebih mengerti setiap kali kuingat siapa kakak perempuanku, siapa Adelia, dan apa hubungan yang pernah ada di antara mereka.

Harusnya aku mengungkapkan bagian ini sejak awal cerita, sejak pikiran kita semua masih bersih dari prasangka-prasangka. Itulah tentang bahwa kakak perempuanku dan Adelia sesungguhnya adalah dua orang sahabat, lebih tepatnya: dua orang teman se-geng – di masa-masa SMA mereka dulu, di masa-masa sebelum Adelia menjadi bintang. Sebagaimana yang tersebut dalam umumnya cerita tentang geng-geng cewek SMA, saling berbagilah mereka dalam satu geng itu apa saja dari suka, duka, gosip, curahan hati, juga mimpi-mimpi. Maka suatu ketika bersatulah lima dalam satu ini mendukung mimpi salah seorang di antara mereka, dan inilah mimpi itu, mimpi seorang siswi SMA berumur 17 tahun: menjadi pujaan, tumpahan cinta, dan elu-eluan seluruh kaula muda di seluruh Nusantara. Sejuta satu cara dilakukan oleh kakak perempuanku and the gang waktu itu untuk memuluskan langkah Adelia dalam Kontes Pujaan Nusantara 3 yang digelar oleh Prima Nusantara TV – sebuah kompetisi dalam kompetisi, kataku, jika mengingat bahwa kompetisi itu pada levelnya sendiri juga berkompetisi dengan kompetisi-kompetisi sejenis, sebutlah Indonesian Idol di RCTI dan AFI di Indosiar, sebagai para penjual dan pengobral mimpi nomor satu bagi anak-anak negeri. Beberapa waktu kemudian, saat harapan semakin menjadi kenyataan, Adelia sudah masuk lima besar, dan mereka semua telah menjadi semakin gila, mereka bahkan menggunakan papaku untuk melobi Gedung Sate agar Gubernur mengumumkan dukungan kepada Adelia yang dianggap mewakili Jawa Barat. Ringkas kata, tetesan keringat kakak perempuanku se-geng, dan terutama sekali bakat besar Adelia sendiri, berhasil mengantar si gadis jelita bersuara emas menjadi runner up pada kontes nyanyi-nyanyian itu pada akhirnya. Sebenarnya bukan pada akhirnya, karena itu sesungguhnya justeru barulah awal dari langkah-langkah elegan-tapi-pasti Adelia meniti dunia impiannya. Dunia gemerlap para bintang!

Adelia Adequate atau Adequate Adelia – dibolak-balik sama saja – yang sering diterjemahkan orang sebagai “cukuplah Adelia seorang” hari ini sudah menjadi nama penuh pesona dalam perbendaharaan sekian megabyte nama-nama artis dan selebritis top Indonesia. Sebuah surat kabar lokal Bandung yang jelas begitu bangga pada prestasi gadis yang pernah dilahirkan dan dibesarkan oleh Kota Kembang itu menuliskan bahwa nama tersebut sesungguhnya menunjukkan talenta luar biasa yang dimiliki oleh sang idola, di mana penggemar di seluruh Nusantara cukup menyebut satu nama saja untuk mengacu kepada bintang dalam dua dunia sekaligus: dunia tarik suara dan dunia akting – Adequate Adelia : cukup Adelia saja! tidak perlu yang lain lagi! Kakak perempuanku berbicara tentang hal itu dengan lebih menarik. Ia menambahkan keterangan kecil dengan sebuah rahasia besar. Adequate, begitu selalu katanya dengan suara bergetar karena luapan perasaan, sesungguhnya adalah nama geng kami lho yang dibuat dengan menggabungkan singkatan nama kelima anggotanya: Ade untuk Adelia sendiri, Q untuk Qurrata A’yun, U untuk Uni, A untuk Aas Aisyah, dan Te untukku, Tessa ini. Siapa tidak bangga?

Ya, orang berhak untuk bangga hanya karena ia pernah se-geng dengan sang bintang, atau hanya karena ia satu daerah asal dengan sang bintang, atau cuma karena ia pernah satu pesawat dengan sang bintang, atau bahkan cuma karena ia pernah melihat (dari kejauhan) sang bintang di sebuah mall, meskipun tentu saja, ia tetap saja bukan sang bintang itu sendiri. Tentang diriku sendiri, jujur saja, pemujaanku terhadap Adelia lebih cenderung ke arah semacam perasaan ingin mengencaninya daripada sekedar bangga-banggaan yang tidak penting. Aku seorang cowok, dan sedang dalam masa puber pula, maka siapa cowok yang tidak terobsesi kepada dara secantik itu, dan bintang, dan dengan suara semerdu itu, dan dengan tubuh semenawan itu, dan sebeken itu, dan seterkenal itu, dan mungkin juga, sekaya itu? Ya Allah, memilikinya tentu sama saja memiliki segala-galanya!

Obsesiku pada Adelia menyerupai minuman berkarbonasi pada botolnya saat dibuka dengan congkelan – meletup begitu lembut. Mengingat fakta bahwa Adelia punya, atau setidaknya pernah punya, relasi khusus dengan kakak perempuanku yang bisa melempangkan jalan bagiku, bertambah-tambah sajalah khayalan dan obsesiku pada bintang itu. Aku tidak peduli lagi pada kesenjangan-kesenjangan itu: kesenjangan usia, kesenjangan tampang, kesenjangan harta, kesenjangan level, atau kesenjangan apapun – setidaknya untuk saat ini. Aku masih muda belia; nasib masih bisa mengantarku ke mana saja: bisa ke hadapan Adelia, bisa ke dalam kandang sapi – aku tidak tahu. Dan karena tidak tahu itulah, aku anggap aku akan mendapatkan peruntungan yang terbaik, asal ada usahaku. Sepanjang pengetahuanku, hanya akan ada dua golongan orang yang bisa berkencan dengan manusia setingkat Adelia: pertama, golongan sesama artis, yakni golongan mereka yang ganteng-ganteng cantik-cantik indo-indo beken-beken; kedua, golongan pengusaha kaya. Begitulah sudah hukum standar yang berlaku di kalangan selebritis. Tentang menjadi artis, aku tidak mengatakan aku tidak punya tampang dan bakat, tapi kukatakan: Jika ada kesempatan, tentu tidak akan kusia-siakan, demi mengejar Adelia. Tentang menjadi pengusaha kaya, hanya jika aku benar-benar bernasib sangat baik bisa mencapainya. Dan begitulah memang urusan tentang Adelia: hanya jika kau benar-benar bernasib sangat baik bisa mendekatinya, bernasib luar biasa bagus bisa mengencaninya, dan bernasib sempurna bisa memilikinya. Untunglah tidak ada kriteria nasib tertentu untuk sekedar bisa membayangkan, untuk sekedar bisa mengimpikan sang bidadari pujaan... yeah, seperti yang selalu kulakukan selama ini.

Demikianlah kegilaan-kegilaan yang tidak selamanya mengharuskan pelakunya menghuni rumah sakit jiwa. Memang caraku berbeda dengan cara kakak perempuanku, tapi tetaplah itu semua tidak keluar dari kategori: cara-cara gila khas para penggemar dan fans berat!

* * *

(to be continued)

0 komentar: