Seperti yang kita ketahui bersama, ada beberapa singkatan / kependekan dalam teks-teks berbahasa Indonesia untuk beberapa ungkapan islamiy tertentu. Kependekan-kependekan tersebut telah menjadi semacam konvensi umum dalam bahasa tulis bangsa kita dan telah dibudayakan dalam keseharian kita sejak hari pertama kita menerima pelajaran agama Islam di bangku sekolah dasar. Mereka ini:
- SWT untuk Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan sanjungan bagi Allah;
- SAW untuk Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang merupakan doa bagi Nabi Muhammad;
- AS untuk ‘Alaihi salam yang merupakan doa untuk para nabi dan malaikat;
- RA untuk Radhiyallahu ‘anhu / ‘anha / ‘anhuma / ‘anhum yang merupakan doa untuk shahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ;
- RA juga untuk Rahmatullah ‘alaih yang semakna dengan rahimahullah yg merupakan doa untuk ulama dan orang-orang shalih yang sudah wafat;
- Ass(wrwb). untuk Assalamu’alaykum (wa rahmatullahi wa barakatuh);
- WWW untuk Waalaykum salam wa rahmatullahi wa barakatuh.
Ada lagi?
Oh ya, saya pernah menemui seseorang menuliskan WWW untuk menjawab salam saya. Oke, kita dapat satu lagi:
Barangkali kita semua tahu betul akan maksud singkatan-singkatan itu ketika seorang penulis menggunakannya dalam sebuah tulisan, dan sesungguhnya Allah adalah Maha Tahu akan maksud segala hal di dunia ini. Akan tetapi marilah kita mempertimbangkan hal-hal berikut ini:
1. Semua ungkapan itu adalah ungkapan suci, agung, dan doa yang ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala rabb semesta alam — ungkapan-ungkapan yang mestinya kita nyatakan dengan penuh pengagungan, dengan seserius dan seelegan mungkin. Menggunakan versi kependekan dari sebuah doa dalam porsinya mengindikasikan keengganan. Dan bukankah sebuah singkatan secara umum memang dibuat untuk alasan kepraktisan yang dalam ungkapan kasarnya sesungguhnya merupakan bentuk dari kemalasan manusia? Sebaliknya, menggunakan versi utuh dalam mengungkapkan sesuatu memiliki nilai pengagungan, keseriusan, dan keeleganan yg lebih tinggi, tentunya.
2. Singkatan itu menyerupai kompresi lossy untuk multimedia yang memampatkan objek dengan konsekuensi info-info tertentu bakal terhilangkan atau aspek-aspek tertentu bakal terkaburkan. Meskipun kita tetap bisa menangkap maksud doa ketika seseorang menggunakan versi singkatannya seperti halnya kita tetap bisa menangkap maksud gambar yang sudah dikompres, sesungguhnya di sana tetap ada hal-hal yang hilang dan terkaburkan. Ketika seseorang menggunakan versi singkatan dari doa, sedikit banyak ada bagian yang hilang dari kesadarannya akan doa yang ia ungkapkan. Sebaliknya, menuliskan mereka secara utuh lebih menunjukkan kesadaran kita akan apa yang kita tuliskan. Penulisan dalam versi utuh lebih menjelaskan maksud, yang dengan cara itu kita memberi tahu yang belum tahu, mengingatkan yang terlalai, menjadi pembelajaran bagi setiap yang membacanya, dan menghilangkan ambigu.
Tentang ambigu, seperti yang kita lihat di atas, di sana paling tidak ada sebuah singkatan, yakni RA, yang mengandung begitu banyak ambigu: apakah ia bermaksud Radhiyallahu ‘anhu atau Radhiyallahu‘anha atau Radhiyallahu‘anhuma atau Radhiyallahu‘anhum, atau justeru Rahmatullah ‘alaih yang dalam beberapa kasus juga masih perlu diperjelas apakah Rahmatullah ‘alaihi atau ‘alaiha dst. Lossy sekali bukan?
3. Beberapa doa dalam versi yg sudah dipendekkan itu ternyata bisa dibelokkan kepada makna yang tidak nyambung atau bahkan sama sekali tidak layak, seperti ass yang bisa dibelokkan menjadi kata dalam bahasa Inggris yang makna tidak layaknya telah kita ketahui bersama. Contoh lain adalah WWW yang waktu itu sempat membuat saya mengira bahwa ia akan memberikan saya sebuah alamat website, dsb dsb. Argumen ini sudah mempertimbangkan su'uzhan kita bahwa sesungguhnya penulis singkatan tidak pernah memaksudkan singkatan-singkatan yang ia buat kepada makna-makna yang menyimpang seperti yang baru saja tersebut.
Menimbang hal-hal tersebut di atas, terang benderang bahwa menuliskan ungkapan-ungkapan islamiy dan doa-doa tersebut dalam versi utuhnya lebih baik daripada menuliskan mereka dalam versi kependekan mereka. Saya sama sekali tidak bermaksud membawa permasalahan ini ke ranah halal-haram yang menjadi wewenang para mufti, tapi marilah kita melihatnya sebagai permasalahan akhlak dan adab kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Wallahu a’lam bishshawab.